BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Seiring berjalannya waktu tantangan perkembangan pendidikan di
Indonesia semakin besar dan kompleks. Hal ini disebabkan karena tuntutan
masyarakat mengenai kualitas dan kuantitas pendidikan. Karena pendidikan
merupakan jalan untuk membentuk kepribadian manusia yang bermartabat. Demi
mewujudkan tujuan pendidikan yang terdapat pada UUD 1945, maka pendidikan harus
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman,
berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab
sehingga tujuan dari pendidikan nasional yang tertera pada UUD 1945 akan
terwujud.
Pentingnya peran kurikulum dalam sistem pendidikan nasional saat
ini memang sudah harus disadari. Adanya kurikulum yang menjadi alat dalam
pendidikan yang mendukung dalam perealisasian program pendidikan, baik
pendidikan formal maupun non formal, sehingga gambaran sistem pendidikan dapat
terbaca jelas. Maka dapat dikatakan bahwa kurikulum merupakan sistem pendidikan
itu sendiri.
Krisis yang melanda Indonesia pada tahun 1997 mengingatkan para pakar
pendidikan untuk berfikir ulang tentang arah dan kualitas pendidikandi
Indonesia. Melalui pemikiran panjang, akhirnya dapat ditemukan kesadaran bahwa
arah pendidikan di Indonesia kurang tepat, sehingga menyebabkan para lulusan
nya kurang berkualitas jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal inio
diantaranya disebabkan oleh karena pendidikan selama ini diarahkan pada
pencapaian materi sebanyak-banyak nya (mater oriented) daripada mencapai
kompetensi atau kemampuan tertentu. Para pakar berusaha untuk mengadakan
reformasi dalam bidang pendidikan, terutama masalah kurikulum nya. Oleh karena
itu pembaharuan pendidikan hareus dimulai dari perbaikan kurikulum. Dalam
rangka melakukan perbaikan dan perubahan terhadap kurikulum maka perlu adanya
langkah-langkah evaluasi kurikulum terlebih dahulu.[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian evaluasi kurikulum?
2.
Bagaimana
implementasi dan evaluasi kurikulum?
3.
Apa
yang dimaksud evaluator kurukulum?
4.
Bagaimana
model evaluasi kurikulum?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
menjelaskan evaluasi kurikulum.
2.
Unruk
menjelaskan implementasi dan evaluasi kurikulum.
3.
Untuk
mendeskripsikan evaluator kurikulum.
4.
Untuk
mendeskripsikan model evaluasi kurikulum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Evaluasi Kurikulum
Evaluasi dalam pengembangan kurikulum merupakan salah satu komponen
penting dan tahap yang harus di tempuh oleh guru untuk mengetahui keefektifan
kurikulum. Hasil yang diperoleh dapat dijadikan balikan (feed-back) bagi
guru dalam memperbaiki dan menyempurnakan kurikulum.[2] Sebelum
penulis menjelaskan lebih jauh tentang apa, mengapa dan bagaimana evaluasi,
terlebih dahulu marilah kita simak beberapa pengertian istilah berikut ini,
yaitu tes, pengukuran, penilaian, dan evaluasi.
Gilbert Sax
menekankan tes sebagai satu rangkaian tugas. Istilah tugas dapat berupa soal
atau perintah/suruhan lain yang harus dikerjakan oleh peserta didik. Hasil
kuantitatif ataupun kualitatif dari pelaksanaan tugas itu digunakan untuk
menarik kesimpulan-kesimpulan tertentu terhadap seseorang. Istilah pengukuran dapat diartikan sebagai
suatu prosesatau kegiatan untuk menentukan kuantitas sesuatu. Dalam kegiatan
pengukuran tersebut tentu harus menggunakan alat ukur. Alat ukur tersebut harus
memiliki derajat validitas reliabilitas yang tinggi.[3] Anthony
J.Nitko menjelaskan “penilaian adalah suatu proses pengumpulan informasi yang
digunakan untuk membuat keputusan-keputusan tentang peserta didik, kurikulum,
program, dan kebijakan pendidikan. Guba dan Lincoln, menekankan devinisi
evaluasi sebagai “a process for discribing an evaluand and judging its merit and worth”. Sebuah
proses untuk mendeskripsikan evaluasi dan menilai kelayakan serta nilai nya.
Berdasarkan pengertian tersebut maka evaluasi adalah suatu tindakan pengadilan,
penjaminan dean penetapan mutu terhadap suatu sistem, berdasarkan pertimbangan
dan kriteria tertentu sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan kegiatan
dalam rangka membuat suatu keputusan.[4]
Hasil dari sumber diatas yaitu menegaskan bahwa tes adalah
serangkaian tugas atau soal-soal yang harus di kerjakan atau dijawab oleh
peserta didikuntuk mengukur aspek perilaku tertentu. Pengukuran yaitu proses
menentukan kualitas dengan alat ukur yang valid. Penilaian adalah suatu proses
pengumpulan informasi yang digunakan untuk membuat keputusan-keputusan tentang
peserta didik, kurikulum, program, dan kebijakan pendidikan.
Pengertian evaluasi
kurikulum jika ditinjau dari sumber-sumber diatas adalah suatu tindakan
pengendalian, penjaminan dan penetapan mutu kurikulum, berdasarkan pertimbangan
dan kriteria tertentu, sebagai bentuk akuntabilitas pengembang kurikulum dalam
rangka menentukan keefektifan kurikulum.
Adapun pendapat lain mengenai evaluasi kurikulum. Evaluasi adalah
suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu.[5] Evaluasi
dalam pendidikan dapat diartikan sebagai suatu prposes dalam usaha untuk
mengumpulkan informasi yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk
membuat keputusan akan perlu tidak nya memperbaiki sistem pembelajaran sesuai
dengan tujuan yang akan ditetapkan. [6] Tyler
seperti yang di kutip Sukmadinata menyatakan bahwa evaluasi adalah proses untuk
mengetahui apakah tujuan pendidikan sudah tercapai atau terrealisasikan. [7]
Evaluasi dan kurikulum merupakan dua disiplin yang berdiri sendiri.
Ada pihak yang menyatakan bahwa keduanya tidak ada hubungan, tetapi ada pihak
lain yang menyatakan keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Pihak yang
menyatakan ada hubungan, hubungan tersebut merupakan hubungan sebab akibat.
Perubahan pada kurikulum berpengaruh pada evaluasi kurikulum, sebaliknya
perubahan evaluasi akan memberi warna pada pelaksanaan kurikulum. Hubungan
antara evaluasi dengan kurikulum bersifat organis, dan prosesnya berlangsung
secara evolusioner.[8]
Evaluasi merupakan kegiatan yang luas, kompleks dan terus menerus
untuk mengetahui proses dan hasil pelaksanaan sistem pendidikan dalam mencapai
tujuan yang telah ditentukan. Evaluasi juga meliputi rentangan yang cukup luas,
mulai dari yang bersifat sangat informal sampai yang bersifat sangat formal.
Pada tingkat yang sangat informal evaluasi kurikulum berbentuk perkiraan,
dugaan atau pendapat tentang perubahan-perubahan yang telah dicapai oleh
program sekolah. Pada tingkat yang lebih formal, evaluasi kurikulum meliputi
pengumpulan dan pencatatan data, sedangkan pada tingkat yang sangat formal
berbentuk pengukuran berbagai bentuk kemajuan kearah tujuan yang telah
ditentukan.[9]
B.
Implementasi dan Evaluasi Kurikulum
Kurikulum merupakan study intelektual yang cukup luas. Banyak teori
tentang kurikulum. Beberapa teori menekankan pada rencana, pada inovasi, pada
filosofis dan pada konsep-konsep yang diambil dari ilmu perilaku manusia. Ini
menunjukan betapa luasnya teori-teori tentang kurikulum. Secara sederhana teori
kurikulum dapat diklasifikasikan atas teori-teori yang menekankan pada isi
kurikulum, pada situasi pendidikan serta pada organisasi kurikulum.[10]
a.
Implementasi
kurikulum
Implementasi kurikulum dapat di artikan sebagai aktualisasi
kurikulum tertulisdalam bentuk pembelajaran. Implementasi dapat juga diartikan
sebagai pelaksanaan dan penerapan. Ada beberapa pendapat yang dikutip dari
Binti Maunah diantaranya pendapat Majone dan Wildavky (1979) yang mengemukakan
bahwa implementasi juga dapat diartikan sebagai suatu proses penerapan ide dan
konsep.[11]
Dikemukakan juga bahwa implementasi kurikulum merupakan proses interaksi antara
fasilitator sebagai pengembangan kurikulum, dan peserta didik sebagai subjek
belajar.[12]
Maka implementasi kurikulum adalah penerapan, ide,konsep kurikulum
potensial (dalam bentuk dokumen kurikulum) kedalam kurikulum aktual dalam
bentuk proses pembelajaran.[13]
Beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi kurikulum yaitu :
a.
Karakteristik
kurikulum yang mencangkup rung lingkup ide baru suatu kurikulum dan
kejelasannya bagi pengguna di lapangan.
b.
Strategi
implementasi. Yaitu strategi yang digunakan dalam implementasi, seperti diskusi
profesi, seminar, penataran, loka karya, penyediaan buku-buku kurikulum dan
kegiatan-kegiatan yang dapat mendorong penggunaan kurikulum di lapangan.
c.
Karaklteristik
pengguna kurikulum yang meliputi pengetahuan, ketrampilan, nilai, dan sikap
guru terhadap kurikulum, serta kemampuanya untuk merealisasikan kurikulum dalam
pembelajaran.
Sejalan dengan uraian diatas, Mars (1998) mengemukakan tiga faktor
yang mempengaruhi implementasi kurikulum, yaitu dukungan kepala sekolah,
dukungan rekan sejawat guru, dan dukungan internal yang datang dari dalam diri
guru sendiri. Dari beberapa faktor tersebut guru merupakan faktor penentu di
samping faktor-faktor yang lain.[14]
Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional
yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Dokumen
KTSP yang dihasilkan oleh satuan pendidikan baik sekolah maupun madrasah akan
di implementasikan dalam bentuk kegiatan pembelajaran. Maka seluruh
komponen-komponen sekolah maupun madrasah harus mempersiapkan dengan baik
terutama pihak guru. Sedangkan implementasi kurikulum berbasis kompetendi (KBK)
dapat di definisikan sebagai suatu proses penerapan ide, konsep, dan
kebijaksanaan kurikulum dalam suatu aktifitas pembelajaran, sehingga peserta
didik mampu menguasai seperangkat kompetensi tertentu, sebagai hasil interaksi
dengan lingkungan. Dalam garis besarnya implementasi kurikulum berbasis
kompetensi mencakup tiga kegiatan pokok, yaitu pengembangan program, pelaksanaan
pembelajaran, dan evaluasi.[15]
Adapun implementasi kurikulum dalam bentuk pembelajaran berdasar
standar nasional pendidikan terutama standar proses, sebagaimana dalam
peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2007
tentang standar proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah, mencakup
perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, dan
pengawasan proses pembelajaran.[16]
b.
Evaluasi
kurikulum
Suatu pekerjaan evaluasi menggunakan standar untuk mengukur dan
atau menilai keberhasilan evaluan. Dalam hal ini maka evaluan itu berposisi
sebagai objek yang dievaluasi. Misal evaluasi terhadap kurikulum 1994, maka
menjadikan kurikulum 1994 tersebut sebagai objek. Dan untuk itu, maka evaluasi
tersebut menggunakan sejumlah standar.[17]
Ada empat standar dalam evaluasi
kurikulum, yaitu :
1.
Utility
Standards
Utility terdiri dari 7 aspek yang membangun konsep utility. Ketujuh
aspek ini mungkin akan digunakan untuk mendapatkan gambaran mengenai utility
tetapi dalam kesepakatan antara evaluator dengan pemakai mungkin hanya beberapa
dari ketujuh aspek itu yang digunakan untuk standar utility. Yang pertama yaitu
Stakeholder Identification, adalah suatu kegiatan mengidentifikasi
orang-orang yang terlibat dalam suatu kegiatan evaluasi dan mereka yang akan
menggunakan atau yang aterkena dampak dari evaluasi. Yang kedua yaitu Evaluator
Credibility, berkenaan mengenai informasi orang yang melakukan evaluasi,
tentang kemampuan nya, pengalaman, dan kejujuran. Yang ketiga yaitu Information Scope and Selection, adalah
berkenaan dengan informasi yang dikumpulkan. Yang keempat yaitu Value
Identification, berkenaan prespektif, prosedur dan rasional yang digunakan
evaluator dal;am mengartikan temuan. Yang kelima yaitu Report Clarity, berkenaan
dengan laporan hasil evaluasi. Yang keenam yaitu Report Timeless and Dissemination, Laporan
yang baik selain memenuhi persyaratan Report Clarity tetapi juga harus
tersedia pada waktunya. Yang ketujuh yaitu Evaluation Impact, Berkenaan dengan
penggunaan hasil evaluasi. Hasil tersebut haruslah menggairahkan para pengguna
untuk menindaklanjuti temuan evaluasi.[18]
2.
Feasibility
Standards
Standar Feasibility dimaksudkan
untuk meyakinkan bahwa pekerjaan evaluasi yang dilakukan itu realistik,
prudent, diplomatik, dan frugal. Standar ini memiliki tiga aspek. Yanng pertama
adalah Practical prosedures, mempersyaratkan
agar prosedur evaluasi yang dilakukan haruslah prosedur yang paling praktis
diantara prosedur alternatif yang ada. Yang kedua yaitu Political Viability,
harus memperhitungkan permasalahan kepentingan politis dan kekuatan sosial
budaya yang ada di masyarakat. Yang ketiga yaitu Cost Effectiveness, adalah
sesuatu yang harus diperhitungkan sejak merancang suatu evaluasi, salah satu
nya adalah efisiensi.[19]
3.
Propriety
Standards
Standar propriety untuk memberikan
keyakinan bahwa evaluasi yang dilakukan memperhatiakan dan tidak melanggar
hal-hal yang berkenaan dengan hukum, etika, dan kenyamanan dari orang yang
terlibat dalam pelaksanaan evaluasi maupun orang yang mendapatkan dampak dari
evaluasi. Standar ini memiliki delapan aspek. Yang pertama Service
Orientation, Evaluasi yang dilakukan harus ditujukan untuk membantu lembaga
pendidikan dan juga masyarakat. Yang kedua Formal Agreement, Evaluasi
yang dilakukan atas dasar perjanjianyang jelas antara evaluator dengan orang
atau lembaga yang meminta jasa evaluasi tersebut. Yang ketiga Rights of
Human Subjects, evaluasi bukan untuk menimbulkan kebencian atau mengancam
keselamatan orang yang menjadi subjek evaluasi. Yang keempat Human
Interaction, dalam proses pelaksanaan evaluasi tentusaja evaluator harus berinteraksi
dengan berbagai pihak seperti kepala sekolah, guru, peserta didik, atau mereka
yang terlibat dalam komite sekolah ataupun dinas pendidikan. Yang kelima Complete
and Fairness Assesment, evaluasi yang baik adalah yang lengkap dan fair.
Yang keenam Disclosure of Findings, Hasil dari evaluasi harus diketahui
oleh semua unsur yang terlibat dalam proses pengembangan dan pelaksanaan
kurikulum. Yang ketujuh Conflict of Interest, evaluasi melayani berbagai
pihak. Yang kedelapan yaitu Fiscal Responsibility, setiap dana yang
dikeluarkan haruslah disesuaikan dengan peruntukan yang telah dirancang dalam
proposaldan disepakati dalam perjanjian.[20]
4.
Accuracy
Standards
Standar akurasi dimaksudkan agar pelaksanaan evaluasi mengungkapkan
dan melaporkan informasi yang diperoleh secara teknis dapat
dipertanggungjawabkan ketika evaluator menentukan nilai dan arti suatu
kurikulum yang dievaluasi.[21]
Perbedaan konsep
dan strategi pengembangan dan penyebaran kurikulum, juga menimbulkan perbedaan
dalam rancangan evaluasi. Model evaluasi yang bersifat komparatif menekankan
pada tujuan atau obyektif yang sangat sesuai bagi kurikulum yang bersifat
rasional dan menekankan isi atau materi (content based curiculum).
Pendekatan yang bersifat bebas atau lepas dari tujuan (goal free) lebih
memungkinkan untuk evaluasi kurikulum yang menekankan pada situasi (situation
based curikulum). Pendekatan yang bersifat eklektif lebih cocok jika
diterapkan dalam kurikulum yang menekankan organisasi.[22]
C.
Evaluator Kurikulum
Evaluator adalah orang yang melalukan
evaluasi pada sebuah kurikulum. Evaluator berperan penting dalam perbaikan
progam, dengan menyediakan informasi yang valid dan reliabel, sebanyak dan
setepat munggkin tentang keberhasilan dan kegagalan; kekuatan atau kelemahan
suatu progam diimplementasikan.[23]
Suatu pekerjaan evaluasi harus dilakukan dengan pemberian
pertimbangan. Adalah kewajiban seorang evaluator untuk mempertimbangkan “merit”
dan “worth” suatu evaluan (kurikulum/program/pekerjaan evaluasi). Oleh karena
itu, pemberian pertimbangan adalah sesuatu yang mutlak dikerjakan dan pemberian
pertimbangan menjadi pembeda yang esensial antara evaluasi dengan studi
sistematik lainnya.[24]
Evaluasi kurikulum dilakukan oleh evaluator yang telah memenuhi
syarat atau kualifikasi. Tidak semua orang boleh menjadi evaluator, kecuali
orang-orang yang benar-benar berkompetensi bidang kurikulum. Syarat-syarat
tersebut antara lain adalah:[25]
1.
Orang
yang memiliki kemampuan untuk melakukan evaluasi baik secara teoritis maupun
secara keterampilan praktis.
2.
Mempunyai
kecermatan yang dapat melihat celah-celah dan detail serta bagian-bagian
kurikulum.
3.
Bersikap
obyektif dan tidak terpengaruh oleh keinginan dan kepentingan pribadi, sehingga
dapat mengambil data dan kesimpulan yang sesuai dengan ketentuan.
4.
Sabar,
tekun dan tidak gegabah dalam menjalankan tugas mulai perencanaan kegiatan,
menyusun instrumen, mengumpulkan data dan menyusun laporan.
5.
Hati-hati
dalam menjalankan pekerjaan evaluasi dan bertanggungjawab terhadap segala tugas
dan resiko kesalahan yang diperbuat.
Evaluator atau salah
satu agen dalam tim evaluasi biasanya seorang pengamat. Dia mendesain cara
mengumpulkan data sehingga pengetahuan yang dapat diberikan kepada pengambil
keputusan. Perhatikan bahwa evaluator tidak menyediakan nilai dengan mana data
akan digunakan, melainkan membantu pengambil keputusan untuk mengklarifikasi
nilai-nilainya sehingga dapat diatasi.
Melakukan evaluasi
performansi dimungkinkan evaluator memperoleh deskripsi yang sebenarnya tentang
seperangkat kompetensi dasar yang telah dikuasai peserta didik setelah
mengikuti kegiatan pembelajaran. Disamping itu evaluator dapat meminimalkan
kesalahan-kesalahan dalam melakukan pengukuran, baik yang bersifat acak ataupun
spesifik.[26]
Hasil evaluasi
kurikulum dan hubungannya dengan arti dan nilai itu evaluator menyimpulkan
bahwa kurikulum yang dievaluasi itu cukup sederhana dan dimengerti oleh guru.
Kurikulum yang dievaluasi memang agak rumit bila diterapkan pada guru akan
tetapi memiliki nilai yang berguna bagi kedepannya. Berguna untuk menentukan
strategi pembelajaran, serta rencana evaluais keberhasilan.[27]
Evaluator dapat dibedakan menjadi dua, yaitu evaluator internal dan
eksternal. Evaluator internal adalah sebuah tim yang ditunjuk oleh suatu
organisasi yang melaksanakan program, terdiri dari sembilan orang yang juga
anggota organisasi tersebut. Evaluator eksternal adalah sebuah tim yang diminta
untuk melaksanakan penilaian terhadap efektifitas program, agar hasilnya dapat
digunakan sebagai dasar pertimbangan di dalam menentukan tindaklanjut terhadap
kelangsungan atau terhentikan nya program tersebut. Evaluator eksternal dapat
berasal dari sekelompok orang yang memang sudah profesional, dan merupakan
kelompok yang siap dibayar oleh pengambil keputusan.[28]
Kelebihan evaluator dalam adalah evaluasi menjadi tepat sasaran
karena evaluator sangat memahami dan menguasai kurikulum yang dievaluasi.
Kelemahan nya adalah adanya kemungkinan subyektifitas dari nevaluator, yang
hanya akan menyampaikan sisi positif dari aspek-aspek yang dievaluasi karena ia
memiliki kepentingan pribadi.[29]
Kelebihan evaluator luar adalah lebih obyektif dalam melaksanakan
evaluasi karena ia tidak berkepentingan mengenai kegagalan atau keberhasilan
implementasi kurikulum yang telah berjalan. Kelemahannya antara lain adalah
kurangnya pemahaman mengenai seluk beluk dan seluruh aspek kurikulum
memungkinkan kesimpulan yang diambil kurang tepat. Mengingat masing-masing
evaluator memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing, maka sebaiknya
dianjurkan evaluator itu bergabung dari dalam maupun dari luar.[30]
D.
Model Evaluasi Kurikulum
Evaluasi kurikulum merupakan suatu tema yang luas, meliputi banyak
kegiatan, meliputi sejumlah prosedur,bahkan dapat merupakan suatu lapangan
studi yang berdiri sendiri. Evaluasi kurikulum juga merupakan suatu fenomena
yang multifaset, memiliki banyak segi.[31]
Perkembangan evaluasi kurikulum memiliki banyak macam. Macam-macam
model evaluasi kurikulum bertumpu pada aspek-aspek tertentu yang diutamakan
dalam proses pelaksanaan atau implementasi kurikulum. Model evaluasi penelitian
yang bersifat komparatif berkaitan erat dengan materi dan tingkahlaku individu.
Evaluasi yang berorientasi tujuan, berkaitan erat dengan kurikulum yang
menekankan pada tujuan. Evaluasi yang lepas dari tujuan berkaitan erat dengan
kurikulum yang menekankan pada situasi. Dengan demikian sesungguhnya terdapat
hubungan yang sangat erat antara evaluasi dengan kurikulum sebab teori
kurikulum juga merupakan teori dari evaluasi kurikulum.[32]
Ada beberapa model dalam evaluasi kurikulum yaitu:
1.
Evaluasi
Model Penelitian
Model evaluasi kurikulum yang menggunakan model penelitian
didasarkan atas teori dan metode tes psikologis serta eksperimen lapangan.
Salah satu pendekatan dalam evaluasi yang menggunakan eksperimen lapangan
adalah mengadakan pembandingan antara dua macam kelompok anak, umpamanya yang
menggunakan dua metode belajar yang berbeda. Ada beberapa kesulitan yang
dialami dalam eksperimen tersebut, yaitu kesulitan administratif, sedikit
sekali sekolah yang bersedia dijadikan sekolah eksperimen. Masalah teknis dan
logis, sulitnya menciptakan kondisi kelas yang sama untuk kelompok-kelompok
yang diuji.[33]
2.
Evaluasi
Model Objektif
Model ini telah diguunakan dan dikembangkan oleh Ralph W. Tyler
(1930) dalam menyusun tes dengan titik tolak pada perumusan tujuan tes yang
merupakan asal mula dari pendekatan system. Pada sekitar tahun 1950 Benyamin S.
Bloom menyusun klasifikasi system trujuan belajar dalamwilayah pengetahuan (cognitive
domain), yang dibagi menjadi enam kategori yaitu knowledge, comprehension, application,
analysis, synthesis, dan evaluation. Teori-teori tersebut akhirnya menjadi
prinsip utama dalam berbagai rancangan kurukulum.
Dalam model Goal/Objective Oriented Evaluation, evaluasi
merupakan bagian yang sangat penting dari proses pengembangan kurikulum.[34]
3.
Model
Campuran Multivariasi[35]
Evaluasi model perbandingan (comperative approach) dan model
Tylor dan Bloom melahirkan evaluasi model campuran multivariasi, yaitu strategi
evaluasi yang menyatukan unsur-unsur dari kedua pendekatan tersebut. Strategi
ini memungkinkan pembandingan lebih dari satu kurikulum dan secara serempak
keberhasilan setiap kurikulum diukur berdasarkan kriteria khusus dari masing-
masing kurikulum.
Beberapa kesulitan dihadapi dalam model campuran multivariasi ini.
Kesulitan pertama, adalah diharapkan memberikan tes statistik yang signifikan.
Maka untuk itu diperlukan seratus kelas dengan sepuluh pengukuran, dan ini
lebih memungkinkan daripada sepuluh kelas dengan seratus pengukuran. Model
multivariasi ini sangat cocok untuk pengukuran skala besar. Kesulitan kedua
adalah, terlalu banyaknya variabel yang perlu dihitung pada suatu saat,
kemampuan komputer hanya sampai 40 variabel, sedangkan dengan model ini dapat
dikumpulkan sampai dengan 300 variabel. Kesulitan ketiga, meskipun model
multivariasi telah mengurangi masalah kontrol berkenaan dengan eksperimen
lapangan tetapi tetap menghadapi masalah-masal;ah pembandingan.
4. Model CIPP Stufflebeam
Model evaluasi CIPP
diperkenalkan oleh Daniel Stufflebeam. Tokoh evaluasi pendidikan ini dilahirkan
di Waverly, lowa. CIPP merupakan singkatan dari Contexs (konteks), Input (masukan), Process (proses) dan Product
(produk). Konteks pada model ini merupakan dasar yang paling penting dari
kegiatan evaluasi. Evaluasi konteks diperlukan untuk menjawab pertanyaan apa
yang perlu dilakukan. Evaluasi ini mengidentifikasi dan menilai kebutuhan-kebutuhan
yang mendasari disusunnya suatu progam.
Tahap input atau
masukan, evaluan akan mengevaluasi dan mengidentifikasi aset dan peluang, serta
prioritas – prioritas dari sebuah progam. Pada tahap evaluasi proses, evaluan
akan mengevaluasi pelaksanaan dari progam tersebut dan sekaligus menelaah serta
menganalisis kelebihan dan kekurangan dari proses implementasi kurikulum. Pada
tahap evaluasi produk, evaluan akan mencari jawaban apakah implementasin
kurikulum yang dilakukan beserta proyek berhasil atau tidak.[36]
5. Model iluminatif
Tujuan model ini
adalah mengadakan studi terhadap progam inovasi. Obyek evaluasi yang diajukan
model ini mencangkup :
a. Latar belakang dan
perkembangan yang dialami progam
b. Proses pelaksanaan
itu sendiri
c. Hasil belajar yang
diperlihatkan oleh para siswa
d. Kerusakan-kerusakan
yang dialami progam, sejak dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan
dilapangan.
Pengumpulan berbagai
informasi dilakukan dengan cara observasi, wawancara, angket dan analisis
bahan-bahan dokumentasi. Alat- alat pengumpulan data yang sifatnya sangat
terstruktur, bila masih dapat dihindarib cenderung untuk tidak melakukan
pendekatan ini.[37]
6. Evaluasi konteks (contexs evaluation)
Evaluasi ini terkait
dengan penyediaan informasi untuk menetapkan tujuanyang baik, merumuskan
lingkungan yang relevan serta mengidentifikasi masalah – masalah yang
berhubungan dengan progam atau kegiatan belajar, maupun kegiatan pendidikan.
Evaluasi konteks dimaksudkan untuk menyediakan informasi guna merumuskan “goal and objectives” evalusi dapat
dilakukan dengan aspek :[38]
a. Tujuan kurikulum
b. Rasional penyusunan
kurikulum
c. Tujuan instruksional
7. Model Studi Kasus
Model ini memiliki
karakteristik, antara lain :
a. Terfokus pada
kegiatan kurikulum disekolah, kelas, atau bahkan hanya kepada seorang kepala
sekolah atau guru
b. Tidak mempersoalkan
pemilihan sampel
c. Hasil evaluasi hanya
berlaku pada tempat evaluasi itu dilakuakan
d. Tidak ada
generalisasi hasil evaluasi
e. Data yang
dikumpulkan data kuantitatif
f.
Adanya realitas yang tidak sepihak.
Langkah pertama
untuk menggunakan model ini adalah mendekatkan dan mengakrabkan dirinya
terhadap kurikulum yang akan dievaluasi sehingga evaluator tidak kaku dalam
mengumpulkan data. Kekakuan evaluator dapat berakibat kegagalan dalam evaluasi.[39]
8. Model evaluasi kurikulum
yang lepas dari tujuan
Model ini
dikembangkan oleh Michael Scriven, yang cara kerjanya berlawanan dengan model
evaluasi yang berorentasi pada tujuan. Menurut pendapatnaya seorang evaluator
tidak perlu memperhatikan apa yang menjadi tujuan pembelajaran, yang perlu
diperhatikan adalah bagaimana kerjanya. Caranya dengan memperhatikan dan
mengidentifikasikan penampilan yang terjadi, baik hal-hal yang positif yang
diharapkan maupun hal-hal negatif yang memang tidak diharapkan.[40]
9. Model Ten Brink
Ten brink mengemukakan
adanya tiga tahap evaluasi yaitu tahap
pertama, tahap persiapan, adapun langkah-langkahnya sebagai berikut :[41]
a. Melukiskan secra
spesifik pertimbangan dan keputusan yang dibuat
b. Melukiskan informasi
yang diperoleh
c. Memanfaatkan
informasi yang telah ada
d. Menentukan kapan dan
bagaimana cara memperoleh informasi itu
e. Menyusun dan memilih
instrumen pengumpulan informasi yang akan digunakan
Tahap kedua,
pengumpulan data melalui dua langakah yaitu memperoleh informasi yang
diperlukan dan bmenganalisis dan mencatat informasi.
Tahap ketiga, tahap
penilaian yang berisi kegiatan-kegiatan begai berikut :[42]
a. Membuat pertimbangan
yang akan digunakan sebagai dasar pembuatan keputusan
b. Membuat keputusan
yang merupakan suatu pilihan beberapa alternatif arah tindakan
c. Mengikhtisarkan dan
melaporkan hasil penilaian.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa:
1.
Evaluasi
kurikulum adalah suatu tindakan pengendalian, penjaminan dan penetapan mutu
kurikulum, berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu, sebagai bentuk
akuntabilitas pengembang kurikulum dalam rangka menentukan keefektifan
kurikulum.
2.
Implementasi
kurikulum haruslah mencakup perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses
pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran.
3.
Evaluator
kurikulum adalah sebuah kelompok yang akan mengevaluasi mengenai sukses
tidaknya kurikulum pada uatu instansi pendidikan.
4.
Model-model
evaluasi kurikulum diatas berkembang dari dan digunakan untuk mengevaluasi
model atau pendekatan tertentu. Model perbandingan untuk mengevaluasi
pengembangan yang menekankan isi. Model tujuan lebih sesuai untuk kurikulum
yang menggunakan pendekatan tujuan dan model campuran untuk mengevaluasi
kurikulum yang menekankan isi, tujuan, maupun situasi.
B.
Saran
Dengan mempelajari mengenai evaluasi kurikulum, diharapkan lebih
bisa memahami hal-hal yang berkaitan dengan evaluasi kurikulum yang sesuai
dengan materi yang tertulis, sehingga tidak menimbulkan salah pengertian.
Hendaknya lebih bisa menerapkan ilmu-ilmu yang terkandung dalam evaluasi
kurikulum.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainal. 2011. Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hasan, S. Hamid. 2008. Evaluasi Kurikulum. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Hidayanti, Wiji. 2012. Pengembangan Kurikulum. Yogyakarta:
Pedagogia
Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung:
Remaja Rosdakarya
.
2009. Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Nurkancana, Wayan. 1986. Evaluasi Pendidikan. Surabaya:
Usaha Nasional.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 1997. Pengembangan Kurikulum Teori
dan praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Zaini, Muhammad. 2009. Pengembangan Kurikulum. Yogyakarta:
TERAS.
[1]
Muhammad Zaini,
Pengembangan Kurikulum, (Yogyakarta: TERAS, 2009), hal. 141.
[2] Zainal Arifin,
Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2011), hal. 263.
[3] Ibid, hal.
264.
[5] Wayan
Nurkancana, Evaluasi Pendidikan, (Surabaya:Usaha Nasional, 1986), hal. 1
[6] Zaini, Pengembangan
Kurikulum,.......hal. 142
[7] Ibid, hal.
143
[8] Nana Syaodih
Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1997), hal. 172.
[9] Ibid,
hal. 173.
[10] Zaini, Pengembangan
Kurikulum,...... hal. 147.
[11] Wiji
Hidayanti, Pengembangan Kurikulum, (Yogyakarta: Pedagogia, 2012), hal.
98.
[12] Mulyasa, Implementasi
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hal.
179.
[14] Mulyasa, Implementasi
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, ......hal. 179-180.
[15] Mulyasa, Kurikulum
Berbasis Kompetensi, .....hal. 93.
[16] Hidayanti, Pengembangan
Kurikulum, .........hal. 100-103
[18] Ibid, hal.
245-247.
[20] Ibid, hal.
249-251.
[22] Zaini, Pengembangan
Kurikulum, ........hal. 148.
[23]
A. Muri Yusuf, Asesmen dan Evaluasi Kurikulum, (Jakarta : Kencana, 2017), hal. 136
[24] Hasan, Evaluasi
Kurikulum, .......hal. 240.
[26] Trianto Ibnu Badar at- Taubaty dan Hadi
suseno, Desain Pengembangan Kurikulum
2013 di Madrasah, (Depok: PT. Kharisma Putra Utama, 2017), hal. 237
[27] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2015)
hal. 347
[28] Mayasari, Evaluator
Eksternal dan Internal, https://mayasarikimp.wordpress.com/2007
[29] Zaini, Pengembangan
Kurikulum, .........hal. 149.
[30] Ibid, hal.
150.
[32] Zaini, Pengembangan
Kurikulum, ........hal. 152.
[33] Sukmadinata, Pengembangan
Kurikulum, .........hal. 185.
[35] Sukmadinata, Pengembangan
Kurikulum, ........hal. 188.
[36]
Fajri Ismail, “Model – Model Evaluasi Kurikulum”, Lentera Vol. 02, 2004 hal. 7
[37] Tim Pengambang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, (Bandung :
PT. Imperal Bhakti Utama, 2007), hal. 44
[40]
Zaini, Pengembangan
Kurikulum..., hal. 154
2 Comments
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete(Y)
ReplyDelete